Oleh : Muhammad Ridwansyah
Perkembangan Inflasi Provinsi Jambi pada triwulan I tahun 2024 mulai merangkak naik sejak Januari sampai dengan Maret. Pada bulan Januari inflasi tercatat sebesar 2,99 persen (yoy), bulan Februari (3,19 persen) dan bulan Maret sudah mendekati 4 persen. Pada April 2024 inflasi year on year mencapai 3,93 persen dengan Indeks Harga Konsumen (IHK) sebesar 106,82. Inflasi tertinggi terjadi di Kabupaten Kerinci sebesar 6,09 persen dengan IHK sebesar 108,78.
Potensi terjadinya peningkatan inflasi pada tahun 2024 ini perlu diantisipasi secara cepat. Apalagi awal musim kemarau tahun ini terjadi pada bulan Mei hingga Agustus 2024. Kondisi ini akan mempengaruhi pasokan bahan pangan penyumbang inflasi antara lain: beras, cabai merah dan bawang merah. Bahan-bahan ini memiliki peran krusial dalam menyediakan makanan bagi masyarakat sehingga perubahan harga komoditas ini, dapat secara langsung mempengaruhi indeks harga konsumen (IHK) dan mengakibatkan inflasi.
Gercep” (gerak cepat) yang terukur dalam upaya meredam inflasi sangat diperlukan. Hal ini mengingat ketidakstabilan inflasi baik dalam bentuk fluktuatif yang tinggi atau tidak terduga dapat menimbulkan masalah–masalah ekonomi seperti ketidakpastian ekonomi, menurunnya tabungan dan investasi, penurunan daya saing ekspor, bahkan meningkatkan angka kemiskinan.
Artkel ini berupaya untuk membahas: apa saja langkah-langkah yang sudah dilakukan agar tingkat inflasi terkendali? Fokus apa saja yang perlu diperhatikan agar inflasi di Provinsi Jambi tetap stabil pada tingkat yang rendah?
Siklus inflasi.
Menyimak siklus lima tahun terakhir, tingkat inflasi Provinsi Jambi sangat berfluktuatif dan sulit diprediksi. Pada triwuan I sampai dengan III-2018, inflasi Provinsi Jambi di atas rata-rata nasional, demikian pula pada triwulan IV tahun 2020 hingga triwulan II tahun 2021. Selanjutnya inflasi meningkat tajam pada triwulan II hingga IV tahun 2022. (lihat grafik)
Pada bulan Juni 2022, Provinsi Jambi mencatatkan inflasi tertinggi se-Indonesia, yang mencapai angka mencengangkan, 8,55 persen. Namun Pada bulan Juni 2023, Provinsi Jambi menjadi provinsi dengan inflasi terendah secara nasional dengan angka 1,96%.
Dalam pendekatan ekonomi, yang terpenting bukanlah tinggi dan rendah suatu keadaan, melainkan keseimbangan indikator ekonomi dalam jangka panjang yang ditandai dengan kurva yang merata. Ini akan menciptakan ekspektasi positif bagi produsen, pedagang maupun kepada konsumen.
Pengalaman meredam inflasi
Gubernur Jambi, H. Al Haris secara langsung memimpin serangkaian rapat koordinasi dalam rangka menstabilkan harga dan memastikan ketersediaan pangan di seluruh Provinsi Jambi. Sehngga, berhasil menciptakan sinergi antar lembaga terkait, termasuk BI, OJK, BPS dan OPD terkait yang berperan penting dalam distribusi pangan.
Pendekatan yang proaktif dan kolaboratif memberikan keyakinan kepada masyarakat bahwa pemerintah daerah serius dalam menjaga kestabilan ekonomi dan kesejahteraan rakyat. Tidak hanya berfokus pada aspek ekonomi, Gubernur Jambi juga menggarisbawahi pentingnya menjaga pasokan pangan yang aman dan berkualitas, terutama bagi masyarakat yang paling membutuhkan.
Sembilan langkah starategis yang diambil, antara lain: (1) Penguatan koordinasi, TPID Provinsi Jambi dan Kab/Kota, serta dialog antara Gubernur Jambi dengan distributor bahan pangan strategis; (2) Penguatan Data/Informasi; (3) Operasi Pasar, gerakan pasar murah dan subsidi harga; (4) Memantau tata niaga komoditi penyumbang inflasi mulai pola tanam sampai distribusi; (5) Mengalokasikan anggaran program/kegiatan OPD yang mendukung pengendalian inflasi; (6) Memanfaatkan penggunaan tekhnologi informasi dalam meningkatkan produktivitas pertanian; (7) Meningkatkan sinergi dengan BI dan BULOG dalam intervensi pasar; (8) Meningkatkan inovasi daerah untuk meningkatkan produktivitas pertanian; (9) Mendorong penggunaan CSR untuk membantu pengendalian inflasi khususnya penguatan infrastruktur dan rantai pasok.
Fokus perhatian.
Bank Indonesia (2023) mencatat bahwa penyumbang inflasi di Provinsi Jambi adanya kelompok “volatile food”, yakni komoditas bahan pangan dan pertanian antara lain: cabai merah, beras, minyak goreng, bawang merah, tomat, daging ayam ras dan daging sapi. Bahan-bahan ini memiliki peran krusial dalam menyediakan makanan bagi masyarakat sehingga perubahan harga komoditas ini, dapat secara langsung mempengaruhi indeks harga konsumen (IHK) dan mengakibatkan inflasi.
Penyumbang terbesar inflasi di Provinsi Jambi adalah Beras (57 – 65 persen). Bulog mengatakan pendistribusian beras di Kota Jambi diperkirakan rata-rata 70 ton per hari dari Januari-Desember 2024. Dengan ketersediaan beras ini diharapkan dapat menjaga kestabilan harga.
Fokus kebijakan diarahkan pada upaya penurunan tingkat infasi di Kabupaten Kerinci sehingga akan menurunkan tingkat inflasi gabungan di Provinsi Jambi secara signifikan. Kabupaten Kerinci mengalami paradok ekonomi mengingat kabupaten ini merupakan sentra produksi kelompok “volatile food” seperti beras dan cabai merah, kenyataannya pada triwulan II 2024 kabupaten ini justru mengalami inflasi tertinggi (6,09 persen).
Dalam sebuah studi yang dilakukan oleh Ningsih, I. W., Wahyuni, I., & Malik, A. (2020) menyimpulkan seharusnya pasar produk holtikultura terutamanya cabai untuk Provinsi Jambi, sebetulnya mampu dipenuhi oleh produksi dari Kabupaten Kerinci. Namun, pada kenyataannya, target pasar rantai pasok produk hultikultura dalam hal ini cabai justru di bawa ke Sumbar dan Riau. Pada sisi yang lain, jalur transportasi dari Kerinci ke Kota Jambi merupakan jalur yang sering terhambat oleh angkutan batu bara, sehingga menimbulkan ekstra biaya pagi pedagang cabai.
Pemerintah daerah Provinsi Jambi perlu mengupayakan koordinasi dalam rantai nilai (value chain) komoditas cabai agar menyediakan insentif yang lebih besar kepada mereka yang terlibat, mulai dari petani, pedagang hingga konsumen akhir. Ini berdampak kepada meningkatnya motivasi petani cabai dalam melakukan produksi secara terus menerus.
Mengatasi masalah distribusi, berkaitan dengan rantai pasokan yang dapat berdampak pada harga optimal karena terjadi pasokan yang stabil. Pemerintah juga harus memastikan ongkos transportasi agar tidak mengalami kenaikan yang tinggi. Perhatian ekstra harus diberikan ke pasar tradisional. Menurut Gabungan Perusahaan Makanan dan Minuman, 85-90 persen warga masih menggantungkan pada pasar tradisional untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Sisanya berbelanja di pasar modern. Jika pasokan dan harga di pasar tradisional bisa dijaga, harga pangan akan stabil.
Spekulasi harga dari beberapa pengumpul dan pedagang, pembeli akan tetap mencari barang yang dibutuhkan meski harganya naik secara tak wajar. Inilah salah satu yang perlu diawasi oleh pemerintah, beberapa pasar bahkan telah menetapkan Harga Eceran Tertinggi (HET) khususnya bahan pangan. Ini akan membuat inflasi terkendali dan daya beli warga terjaga. Operasi pasar tetap perlu dilakukan untuk memastikan harga tetap stabil atau bergerak dalam rentang yang wajar di pasaran.
(Penulis adakah Ekonom Universitas Jambi/Ketua Pusat Unggulan Ipteks Perencanaan Bisnis dan Investasi Agroindustri dan Lingkungan, Universitas Jambi)