CB24.COM– Sejumlah masyarakat yang terdiri dari para aktivis, LSM dan jurnalis ikut menyampaikan orasi dan memberikan dukungan moral kepada aktivis tani Thawaf Aly yang dikriminalisasi oleh aparat Polda Jambi dalam aksi demo lanjutan di Mapolda Jambi, senin (27/10/2025).
Dalam orasinya para aktivis dengan tegas mengatakan bahwa penahanan Thawaf Aly cacat hukum dan tidak menunjukkan kepropesionalan aparat kepolisian.
“Bagaimana mungkin seseorang langsung ditahan hanya berdasarkan laporan sepihak, tanpa melalui proses penyidikan langsung ditangkap dan ditahan tanpa memperlihatkan barang bukti,” ujar Zainuddin, aktivis keterbukaan informasi yang juga Koordinator Gerakan Masyarakat Peduli Transparansi (GEMPITA) yang didampingi Sri Yanto (Aktivis HAM) Arfandi dan para aktivis Jambi lainnya.
Atas tindakan aparat yang terkesan “ada pesanan” dari pihak tertentu tersebut membuat kuasa hukum Thawaf Ali akhirnya melakukan Pra Peradilan.
Dalam sidang pra peradilan yang digelar pada tanggal 22 Oktober 2025 di Pengadilan Negeri Jambi tersebut, pihak termohon menghadirkan tiga saksi, yakni penyidik Polda Jambi Satrio Handoko dari Subdit III Jatanras, serta dua orang sipil, Abdul Aziz dan Budiman, yang disebut sebagai pekerja dan perpanjangan tangan pengusaha sawit asal Medan, Sucipto Yudodiharjo.
Sidang dibagi dalam dua tahap pemeriksaan saksi, dimulai dengan Abdul Aziz dan Budiman. Saksi Budiman mengaku sebagai mandor yang mengawasi proses penanaman dan pemanenan sawit di lahan Sucipto sejak tahun 2013.Ia menyebut pertemuannya dengan Sucipto terjadi pada 2012 saat ada pekerjaan di Kumpeh, Muaro Jambi. Setelah itu, Budiman ditunjuk sebagai mandor pribadi oleh Sucipto.
Namun, kuasa hukum Thawaf Aly, Ahmad Azhari, menilai keterangan Budiman penuh kejanggalan karena sebagai mandor di lahan seluas sekitar 100 hektare tersebut Budiman justru tidak mengetahui dokumen administrasi lahan yang diawasinya.
“Saya tidak pernah melihat surat-menyurat, namun hanya pernah ditunjukkan fotokopi sertifikat, itupun saya tidak ingat sertifikat apa,” ungkapnya.
Pengakuan Budiman ini tentu saja menjadi tanda tanya. Bagaimana Budiman mengetahui batas-batas lahan tanpa pernah melihat dokumen kepemilikannya.
Saksi lainnya, Abdul Aziz, warga Merbau, mengaku melihat dugaan pencurian sawit di lahan Sucipto. Namun keterangan Aziz justru memperkuat dugaan kejanggalan proses penyidikan. Ia menyebut buah sawit yang diduga hasil curian tidak pernah dibawa polisi sebagai barang bukti.Aziz juga menjelasakan jika Thawaf Aly tidak berada di lokasi saat kejadian tersebut.
“Di lokasi tidak ada Thawaf Aly, yang ada Asman dan anggotanya,” ujarnya.
Sementara itu, penyidik Satrio Handoko dari pihak termohon bersikeras bahwa proses penyidikan telah sesuai prosedur hukum.
“Dalam pemeriksaan ditemukan aktivitas panen sawit sebanyak 32 ton. Semua tahapan penyidikan sudah sesuai SOP”, ujarnya.
Namun barang bukti sebanya 32 ton ini tidak bias diperlihatkan serta alat berupa dodos dan keranjang sawit yang digunakan untuk melakukan pencurian sebagaimana dituduhakan kepada Thawaf Aly.
“Polda Jambi tidak memiliki barang bukti berupa buah sawit yang disebut 32 ton, juga dodos dan keranjang sebagai alat untuk melakukan pencurian,” jelas Azhari, kuasa hukum Thawaf Aly.
Azhari juga menegaskan, Thawaf Aly belum pernah diperiksa atau dimintai keterangan sebelum ditetapkan sebagai tersangka.
Ia juga menambahkan, berdasarkan hasil penelusuran, obyek sertifikat hak milik (SHM) atas nama Hary Chandra, orang tua Sucipto Yudodiharjo, tidak berada dalam lokasi kejadian.
“Semenjak awal 2012 lalu hingga kini Budiman yang merupakan mandor yang juga mengaku sebagai perpanjangan tangan Sucipto tidak pernah melihat sporadik atau SHM Hary Chandra. Mandor Sucipto berbelit dan berbohong menyebut lahan Sucipto 100 hektare tapi tidak tahu batas-batas kebun hingga kini,” tegas Azhari.
Sebelumnya pihak pemohon menghadirkan dua saksi: Bahsul Alam dan Rudi Hartono. Keduanya warga Desa Merbau, Kecamatan Mendahara, Kabupaten Tanjung Jabung Timur.
Bahsul Alam menuturkan bahwa pada 16 Juli 2025 sekitar pukul 10.00 WIB, ia melihat pihak perusahaan datang mengambil foto di lahan Kelompok Tani Maju Bersama.
“Lokasinya benar-benar milik kelompok tani, bukan milik perusahaan, dan berada di sebelah kanan jalan,” ujarnya sambil menunjukkan video lokasi panen bersama petani.
Ia menjelaskan, lahan tersebut milik Kelompok Tani Maju Bersama (KTMB) di Dusun Hidayah dengan luas sekitar 48 hektare, berada di kawasan hutan lindung yang berdekatan dengan area PT EWF.
Sementara Rudi Hartono menegaskan bahwa Thawaf Aly dikenal sebagai tokoh petani dan pengurus KTMB sejak 2013. Kedua saksi mengaku sangat mengenal Thawaf Aly sebagai aktivis yang kerap mendampingi petani di Merbau.
Kuasa hukum Thawaf Aly yang terdiri dari Ahmad Azhari, Agus Efandri, M. Syamsurizal, dan Ringkot Nedy Harahap dalam permohonannya, menyatakan bahwa penetapan dan penahanan terhadap kliennya Sdr.Thawaf Aly tidak sah dan batal demi hukum, karena melanggar Pasal 77 huruf a KUHAP.
“Penetapan tersangka hingga penahanan terhadap klien kami dilakukan sebelum pemeriksaan selesai, tanpa dasar hukum yang sah, dan melanggar hak asasi manusia,” tegas Azhari.
Kasus ini berawal dari laporan dugaan pencurian sawit di kawasan hutan Desa Merbau, Kecamatan Mendahara, Kabupaten Tanjung Jabung Timur. Thawaf Aly ditangkap pada 29 September 2025 dan dijerat Pasal 363 ayat (1) ke-4 KUHP tentang pencurian dengan pemberatan.
Tim kuasa hukum menilai perkara ini sarat rekayasa dan merupakan bentuk kriminalisasi terhadap petani, sebab akar persoalannya diduga kuat merupakan sengketa lahan antara kelompok tani Merbau dan pengusaha sawit asal Medan, Sucipto Yudodiharjo.
Sementara itu, Kemas Sholihin, aktivis LSM yang juga berprofesi sebagai advokat ini menilai status kebun sawit milik Sucipto tersebut illegal karena berada dalam Kawasan hutan dan melanggar Undang-Undang Kehutanan No. 42 Tahun 1999, Pasal 50 dan 78 dengan ancaman pidana 10 tahun dan denda Rp. 5 Milliar .
“Dalam hal ini kebun sawit milik Sucipto illegal dan melanggar hukum. Unsur mencuri milik orang lain sebagaimana yang dituduhkan kepada Thawaf Aly tidak terpenuhi, sebab perusahaan tidak sha sebagai pemilik,” ujarnya.
Dukungan terhadap Thawaf Aly juga datang dari Persatuan Pemuda Melayu Jambi (PPMJ).
Dalam pernyataan sikapnya sebagaimana dilansir dari ZonaBrita.Com, Ketua PPMJ, Iin Habibi mengajak masyarakat untuk turut memberikan dukungan moral kepada Thawaf Aly.
Iapun menyatakan bahwa organiasasi yang ipimpinnyab tidak akan tinggal diam melihat kondisi ini.
“PPMJ menggandeng masyarakat tani dari berbagai kabupaten di Jambi dan mengancam menggerakkan ratusan hingga ribuan petani ke Mapolda Jambi,” ujarnya.
Aksi massa ini akan mereka lakukan apabila kriminalisasi terhadap Tawap Ali tidak segera dihentikan.
“Gerakan ini bukanlah ancaman, melainkan seruan moral dan tanggung jawab sejarah untuk membela kebenaran. Kami akan mengawal kasus ini sampai keadilan benar-benar ditegakkan,” janji Iin Habibi.
Dalam pernyataan resminya, Persatuan Pemuda Melayu Jambi menuntut lima poin utama :
1. Hentikan segera kriminalisasi terhadap Tawap Ali dan pejuang petani lainnya di Jambi.
2. Bebaskan Tawap Ali tanpa syarat dan pulihkan nama baiknya.
3. Pemerintah Provinsi Jambi dan Pemerintah Pusat harus turun langsung menyelesaikan konflik agraria di Jambi dengan adil dan berpihak kepada rakyat.
4. Usut tuntas pihak-pihak yang terlibat dalam perampasan tanah rakyat dan kerusakan lingkungan akibat ekspansi perusahaan besar.
5. Hentikan intimidasi, kekerasan, dan penangkapan terhadap warga yang memperjuangkan hak atas tanahnya.
“Perjuangan petani bukanlah kejahatan. Mereka merupakan pahlawan yang menjaga sumber kehidupan bangsa. Jika negara terus membiarkan kriminalisasi terhadap rakyat, maka itu pertanda keadilan telah mati di tanah Melayu ini,” tutupnya. (Jack)

