Oleh : Bhima Yudhistira, Direktur Eksekutif Center of Economics and Law Studies (Celios)
CB24.COM- Industri perbankan syariah di Indonesia memiliki peran strategis dalam pembangunan ekonomi secara nasional. Sejak dirintis, perbankan syariah diharapkan dapat menjadi salah satu pilihan masyarakat dalam memenuhi kebutuhan finansial.
Sejauh ini, terdapat dua pola bisnis perbankan syariah, yaitu sebagai bank umum syariah (BUS) dan unit usaha syariah (UUS). Keduanya sama-sama menjunjung prinsip tata kelola sesuai syariah.
Sebagai negara berpenduduk mayoritas muslim, industri perbankan syariah di Indonesia memiliki potensi besar untuk terus berkembang. Meski demikian, fakta menunjukkan perbankan syariah hanya memiliki porsi 6,7% market share dari keseluruhan industri perbankan.
Kenyataan di atas cukup menarik untuk dicermati. Fakta bahwa upaya yang telah dilakukan untuk membangun industri perbankan syariah di Indonesia ternyata selama ini masih jauh panggang dari api. Masih diperlukan upaya ekstra untuk meningkatkan daya saing perbankan syariah, agar dapat berkompetisi dengan perbankan konvensional.
Sebenarnya berbagai upaya telah dilakukan untuk mengungkit daya saing perbankan syariah. Salah satu ikhtiar yang semula diyakini dapat meningkatkan market share perbankan syariah, yaitu mendorong UUS untuk spin off dari induknya. Hal ini sesuai amanat UU No. 21/2008 tentang Perbankan Syariah, yang mewajibkan bank umum konvensional (BUK) yang memiliki UUS untuk melakukan pemisahan UUS tersebut menjadi BUS, paling lambat 15 tahun sejak diundangkan atau pada 2023. Namun, benarkah spin off UUS menjadi BUS berkorelasi positif dengan meningkatnya market share perbankan syariah? Untuk menjawab hal tersebut, perlu ditinjau berbagai aspek perbandingan BUS dan UUS.
Pertama, kinerja keuangan. Berdasarkan data Otoritas Jasa Keuangan (OJK), sepanjang periode 2016—2021, UUS tumbuh cukup kompetitif dengan compound annual growth rate (CAGR) pada aset, financing, funding, dan profit before tax (PBT) secara rata-rata lebih tinggi (>18%) dibandingkan dengan BUS (<13%). Demikian juga dari sejumlah rasio kunci UUS seperti RoA sebesar 2,2% dibandingkan BUS 1,3%; NOM UUS 2,3%, sementara BUS 1,4%; dan BOPO UUS <80%, sementara BUS >85%. Baik profitabilitas maupun efisiensi biaya, faktanya UUS mengungguli model BUS. Kinerja yang cemerlang dari UUS dibandingkan BUS karena selalu terdorong untuk melakukan inovasi produk dan layanan agar setara atau bahkan lebih baik dari bank induknya.
Kedua, tingkat ketahanan UUS juga lebih tinggi dibandingkan BUS terutama pada masa krisis pandemi tecermin dari indikator NPF UUS di bawah 3%, sementara BUS >4%. Pencapaian tersebut tentunya tanpa mengurangi kesyariahan dari praktik bisnis UUS yang selalu diiringi pengawasan prinsip-prinsip syariah oleh OJK, Dewan Pengawas Syariah, serta Satuan Kerja Audit Internal Bank.
Ketiga, UUS mempercepat literasi dan inklusi perbankan syariah karena pola bisnisnya memiliki akses terhadap market dari bank induk yang menjangkau seluruh kalangan (universal). Terlebih jika perbankan tersebut menerapkan konsep syariah first dalam menawarkan produk kepada nasabah, maka akselerasi literasi dan inklusi perbankan syariah akan lebih cepat.
Keempat, yaitu tingkat layanan dan pricing UUS yang setara atau lebih baik dari bank induk, sehingga membuat nasabah tetap merasakan layanan terbaik. Hal ini penting, karena penurunan kualitas layanan akan menimbulkan kesulitan dan ketidaknyamanan bagi nasabah.
Kelima, dari sisi kelembagaan. Pada akhir 2021, terdapat 12 BUS dan 21 UUS pada industri perbankan syariah di Indonesia. Dari total 21 UUS, mayoritas merupakan bank yang memiliki modal kecil dan skala bisnis terbatas. Dengan modal minim, maka akan membatasi ekspansi usaha BUS hasil spin off, khususnya dalam hal pembiayaan yang merupakan jantung dari bisnis perbankan.
Perlu dipertimbangkan, bahwa memperbesar pangsa pasar perbankan syariah tidak sama dengan menambah jumlah BUS. Pertanyaannya, apakah kita memerlukan bank syariah yang lebih banyak ataukah perbankan syariah yang lebih berkualitas? Oleh karenanya, sudah selayaknya kita berikan kesempatan kepada UUS untuk terus berkembang dalam ekosistem bersama bank induk.
Melihat berbagai aspek yang kita bahas di atas, pola bisnis UUS selama ini terbukti mampu memberikan nilai lebih dalam meningkatkan pertumbuhan bisnis, efisiensi, dan efektivitas kepada pertumbuhan industri perbankan syariah di Indonesia. Oleh karena itu, perlu dipertimbangkan agar kewajiban spin off bagi UUS pada 2023 dapat diubah menjadi pilihan sukarela.
Bagaimanapun, keberadaan UUS selama ini telah memberikan dampak positif bagi industri perbankan syariah, dan dapat membantu meningkatkan market share perbankan syariah. Pada akhirnya, masyarakat pula yang akan memilih bertransaksi perbankan melalui UUS atau BUS yang keduanya memberikan keuntungan dan berkontribusi terhadap perbankan syariah.
sumber : Harian Jogja