CB24.COM- Pansus Konflik lahan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Jambi akan berusaha memperjuangkan hak-hak warga Suku Anak Dalam (SAD) Merangin dan Sarolangun Jambi. Senin (17/1/22).
“Pansus akan berada ditengah untuk menyelesaikan masalah ini,” kata Wartono saat mendengar keluhan warga SAD di Gedung DPRD Provinsi Jambi.
Ketua Pansus Konflik lahan, Wartono mengatakan bahwa selama ini warga SAD merasa keberadaan PT SAL membuat mereka susah untuk mencukupi kebutuhan. Sementara itu pemberian dari pihak perusahaan dirasakan belum terlalu memadai.“Ibaratnya orang kelaparan nangis minta makan tapi dikasih permen,” sebutnya.
Sekretaris pansus, Ivan Wirata kuatir konflik ini akan terus berlanjut mengingat persoalan ini menyangkut hajat hidup mereka.
Sementara itu, salah satu anggota pansus, Sapoan Ansori menanyakan kapan izin HGU dari PT SAL itu berakhir. Jika pihak perusahaan mengajukan perpanjangan HGU disitu ada peluang untuk memberikan hak-hak warga SAD.
“Kalau memang HGU nya diperpanjang itu ada kewajiban 20 persen yang haris dikeluarkan pihak perusahaan,” kata Sapoan.
Sebelumnya, perwakilan warga SAD menjelaskan jika dulunya lahan ribuan hektar itu merupakan tempat mereka tempat tinggal mereka sekaligus sumber pencaharian mereka.
Namun, katanya, situasi berubah saat pemerintah memberikan ijin kepada PT SAL menggarap lahan yang menurut mereka adalah hutan ulayat mereka. Selain kehilangan hutan, mereka juga susah untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
“Bagaimana kami mau makan kalau binatang buruan itu sudah tidak ada lagi. Bagaimana keberlangsungan anak cucu kami,” keluhnya.
Ia tidak memungkiri, selama ini pihak perusahaan memang memberikan bantuan. Namun pemberian itu dinilai tidak memadai.
“Kami diberi beras 10 kg juga gula setiap bulannya. Tapi apakah cukup,” tegasnya.
Untuk itu, dia berharap agar pemerintah dapat memberikan solusi dalam menyelesaikan persoalan yang sudah berlangsung cukup lama.
“Orang luar dikasih (bentuk plasma), kami yang tinggal dari nenek moyang kami tidak.
Sementara itu, Perwakilan Warsi yang ikut mendampingi warga SAD, Robert menuturkan jika pihak perusahaan pernah memberikan Konfensasi saat akan menggarap hutan yang dihuni SAD itu dulu.
Konpensasi katanya, berupa lahan seluas 2 hektar per KK, akan tetapi dari keseluruhan warga SAD yang ada di sana hanya 37 KK yang diberikan.
“Itupun bukan pemberian akan tetapi hutang,” tegasnya.
Oleh karena tidak mampu bayar, lanjut Robert, akhirnya warga SAD menjual lahan tersebut.
Saat ini, lanjut Robert, Warga SAD bertahan dengan mendirikan tenda-tenda didalam lahan perusahaan yang dulunya adalah hutan mereka. Untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, Ribet menyebutkan warga SAD mengambil buah sawit perusahaan yang jatuh untuk dijual.
“Namun mengambil brondol inilah yang sering menyebabkan konflik karena pihak perusahaan melarang,” sebutnya.
Robert mengaku sudah berusaha mencari jalan keluar untuk mengatasi persoalan tersebut. Namun sampai saat ini belum membuahkan hasil yang memuaskan.
“Kami sudah lapor pak Bupati, Pak Gubernur, BPN Pusat bahkan sampai ke Komnas HAM,” bebernya.(Tm/adv)